Experience

Minggu, 18 September 2011

Ceritanya Orang Tompu (Ziarah ke Tanah Suci)

by Unknown  |  in Article Kehutanan at  17.53

 


Tanah Suci
“Tanah dan hutan bagi masyarakat adat yang mendiami hutan dan gunung di Sulawesi Tengah adalah tanah suci”, jelas Hedar Laudjeng, lelaki umur 40-an, berambut ikal panjang, dikuncir sebagian besar sudah memutih, anggota Dewan Kehutanan Nasional dan aktifis Perkumpulan Bantaya, Ornop yang aktif mendampingi dan mengadvokasi masyarakat adat di Sulawesi Tengah.
“Sama seperti Yerusalem yah? bagi penganut Yahudi, Nasrani dan Islam, bedanya, para pemeluk tiga agama langit ini berperang dan saling berebut tanah suci”, Saya menimpali dengan pertanyaan.
“orang-orang Sulawesi Tengah memiliki Tanah Suci masing-masing, gunung dan hutan adat mereka adalah Tanah Sucinya dan mereka tidak perlu berebut”, jelasnya lagi.
Lalu apa yang terjadi saat ada yang datang akan “merebut” tanah sucinya
Ceritanya sama dimana-mana, proyek kehutanan pemerintah selalu datang semena-mena, terserah apa namanya, mau Hutan Lindung, mau Taman Nasional, mau Taman Hutan Raya (TAHURA) tetap saja tidak memandang manusia sebagai bagian dari hutan.
Dan bagaimana pula kira-kira jadinya di daerah yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan dan sebagian penduduknya hidup dalam hutan? Seperti Sulawesi Tengah. Tahun 2007 Sekitar  4.394.932 ha wilayah sulawesi tengah adalah kawasan hutan, atau 65 % dari luas daratan Sulawesi Tengah, 6.803.300 ha, (data Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah). Hutan-hutan tersebut sebagain besar tentu saja adalah tanah ulayat bagi manusia penghuninya.
Di Provinsi Sulawesi Tengah juga dari hasil identifikasi Desa di dalam dan Sekitar Kawasan Hutan yang dilakukan oleh BPS dan Kementrian Kehutanan tercatat 57 % desa administratif masuk dalam kawasan dan sekitar kawasan dengan berbagi jenis dan kategori. 962 desa – 58 desa di dalam kawasan dan 666 desa di tepi kawasan- dari 1.686 desa (2008). Jumlah yang tidak sedikit. Sementara penduduknya sendiri sekitar 33 % bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan. Jumlah ini hanya kalah oleh Propinsi Papua.
Sejak dulu tidak jarang terdengar terjadi konflik agraria di Sulawesi Tengah yang membenturkan masyarakat adat penghuni hutan dengan pemerintah sebagai ‘pemegang otoritas’ atas hutan (Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan atau Balai Taman nasional). Hampir semuanya dipicu oleh penetapan tapal batas kawasan hutan semaunya. Tidak jarang proyek kehutanan pemerintah mengusir orang pedalaman/masyarakat adat (seringkali mereka sebut masyarakat tertinggal) yang menjadi penduduk asli gunung dan hutan sejak beratus-ratus tahun. Penyebab pengusirannya karena daerah mereka diambil kemudian dimasukkan dalam proyek-proyek kehutanan pemerintah.
Tidak sedikit dari hutan mereka tersebut diserahkan pada perusahaan-perusahaan tambang & perkebunan (kelapa sawit, emas, dan mineral lainnya) sebagai wilayah konsesi.
Ngata Tompu
Hujan bulan Nopember yang baru saja mengguyur deras tak cukup menyejukkan udara gerah kota Palu. Berangkat dari markas Perkumpulan Bantaya kami berkonvoi di bawah terik matahari yang gerah sehabis hujan deras dengan 6 sepeda motor. Saya menumpang di salah satu dari 3 sepeda motor ojek yang kami sewa. Saya diikutkan dalam rombongan teman-teman dari Perkumpulan Bantaya yang akan membuat film dokumenter Ngata Tompu.
Ngata (dalam bahasa kaili = Kampung) Tompu secara administratif masuk dalam wilayah kabupaten Donggala. Dahulu, pada tahun 1970 an, Tompu adalah satu desa administratif, dinamai desa Tompu, sebelum mereka “diusir” dan “dipaksa” meninggalkan desanya untuk direlokasi ke tempat lain karena wilayahnya masuk dalam tapal batas hutan lindung. Sekembali dari proyek relokasi dimana mereka ramai-ramai lari kembali ke Tompu, desa Tompu sudah hilang. Dihapus secara administratif. Dilebur ke dalam dua desa, desa Loru dan Ngata Baru, yang bagi orang Tompu secara sosial, budaya dan kosmologis tidak ada keterikatan.
Ngata tompu berada di pegunungan bagian timur Lembah Palu. Jarak ngata Tompu dari kota palu sebenarnya tidak bisa dibilang jauh, mungkin hanya kisaran 18 km lebih kurang. Namun medan yang berat yang membuat ngata sulit dijangkau. Jalan ke ngata Tompu hanya bisa dilalui sepeda motor dengan kodisi jalan yang hanya setapak sempit, berbelok-belok, dengan tebing-tebing disamping kiri-kanan jalan, becek saat diguyur hujan. Kondisi jalan yang seperti itu pulalah yang membuat waktu tempuh lebih lama daripada jauh jaraknya.
Jalan mulus beraspal hanya sampai di desa Ngata Baru yang berada di kaki bukit, untuk sampai di ujung jalan ini hanya memerlukan waktu tempuh kurang dari 20 menit dari Kota Palu. Untuk melanjutkan perjalanan hanya bisa dengan berjalan kaki atau naik motor, itupun kalau cukup punya nyali mengendarai sepeda motor di jalan setapak sempit, sebagian berbatu-batu cadas dan samping kiri-kanannya tebing, dan siap ban sepeda motornya slip kiri-kanan saat jalan habis diguyur hujan. Hanya ada beberapa ojek nekat yang mau disewa sampai Tompu.
“Pengusiran”
Awal cerita dimulai pada tahun 70-an (orang-orang tua Tompu hampir tidak ada yang bisa dengan jelas menyebutkan tahun pastinya) sekitar kurang lebih seribuan jiwa yang bermukim dalam “hutan” di wilayah pegunungan bagian timur kota palu itu. Kampung tersebut terdiri dari beberapa pemukiman yang tersebar tak beraturan di puncak-puncak bukit dan gunung. Seperti laiknya masyarakat adat yang tinggal dalam hutan dan diatas gunung mereka hidup dengan berladang. Yah tentu saja berladang berpindah-pindah, parktik inilah yang seringkali jadi alasan untuk mengusir mereka, padahal mereka justeru telah tinggal disana dengan praktik tersebut beratus-ratus tahun mungkin setua hutan dan gunungnya.
Karena desa mereka kemudian dimasukkan dalam kawasan Hutan Lindung mereka lalu harus dielokasi, tepatnya diusir dari tanah mereka. Mereka direlokasi di beberapa tempat yang terpisah-pisah. Terpencar di beberapa tempat sekitar palu, parigi dan donggala. Komunitas besar mereka dipisahkan-pisahkan menjadi kelompok-kelompok kecil. Proses relokasi tersebut cukup sukses dari hampir 500 an keluarga tersisa hanya tidak lebih dari 10 keluarga yang ngotot tetap tinggal.
Di tempat baru mereka ‘dipaksa’ menjadi petani padi sawah, tentu saja mereka asing, dan tidak terampil. Di Tompu mereka bercocok tanam padi ladang yang umurnya enam bulan. Padinya ditanam di atas tebing miring tanpa harus digenangi air. Habis ditanam bisa ditinggal begitu saja tak perlu dirondai sepanjang waktu. Di tempat baru praktik bercocok tanam mereka harus disesuaikan, menanam padi sawah yang digenangi air dan harus dijaga setiap waktu agar tak kekurangan air, menyita waktu mereka. Hasilnya? Orang tompu tidak cocok cara seperti itu!
Kemudian di awal tahun 80-an, satu persatu mereka kembali ke tompu, sebagian besar karena kerinduan dan keterikatan terhadap tanah. Juga pada pandangan kosmologis orang tompu (dan sebagian besar masyarakat adat di Sulawesi tengah) tentang alam dan asal usul manusia. Orang Tompu memiliki kepercayaan bahwa asal-usul manusia adalah di tanah Tompu (di kalinjo, salah satu perkampungan di Tompu) itulah sebabnya mereka akan selalu kembali ke Tompu, kemanapun mereka pergi. Ada akhirnya mereka lari kembali ke Tompu dari berbagai tempat relokasi mereka.
Tompu dan Keanekaragaman Hayati
Tentu saja orang Tompu tidak pernah secara sadar telah menyumbangkan jasa terhadap pelestarian plasma nutfah. Dalam praktik dan laku sehari-hari orang Tompu, ternyata mereka telah berkontribusi besar dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Dahulu di ngata Tompu terdapat sekian puluh jenis padi ladang lokal yang terus menerus ditanam. Sebagian diantaranya ditanam karena secara budaya jenis padi tersebut sangat penting artinya dalam adat-istiadat orang Tompu. Misalnya jenis padi yang mereka beri nama topembangun, jenis padi ini terus ditanam karena perannya yang sangat penting. Dalam setiap ritual membangun rumah topembangun diharuskan ada sebagai bagian ritual, ritual acara mendirikan rumah tidak jadi diadakan kalau topembangun tidak hadir. Itulah makanya jenis padi ini harus selalu ditanam. Dan beberapa jenis padi ladang lokal lainnya, yang memiliki peran masing-masing dalam adat istiadat orang Tompu. Namun belakangan setelah pengusiran tersebut, hanya tersisa beberapa jenis padi ladang lokal saja saat ini di Tompu, salah satunya topembangun. Dan sekitar kurang sepuluh rumah tangga yang ngotot tetap tinggal itulah yang terus menanam jenis-jenis padi ladang lokal tersebut, selama sebagian besar orang Tompu dalam ‘pengusiran’.
Kriminalisasi Masyarakat Adat
Ada kenyataan selama ini terjadi yang menimpa masyarakat adat, “kriminalisasi” masyarakat adat yang menghuni hutan dan sekitar kawasan hutan. Mereka dituding dan difitnah menjadi pelaku utama deforestrasi.
Secara dramatis telah terjadi pengurangan luas kawasan hutan (berbagai kategori) di Sulawesi Tengah.
Hutan Alam saat ini tersisa 531,906 ha dari 676,248 ha sebelumnya. Dari 1,489,923 ha luas Hutan Lindung, kini hanya 1,243,650 ha. Sementara luas jenis hutan lain yang memang untuk tujuan ekonomi juga mengalami penurunan:, Hutan Produksi terbatas sebelumnya seluas 1,476,316 ha kini menjadi 1,349,640 ha, Hutan Produksi berkurang hampir setengahnya menjadi 273.986 ha yang dulunya seluas 500,589 ha. Sementara Hutan Produksi Konversi berkurang dari 251-865 hektar menjadi hanya 162,446 ha (Data Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah).
Laju deforestrasi yang sangat cepat itu (menurut Walhi Sulawesi Tengah 18,8 ha hutan rusak setiap jamnya)  yang menjadi salah satu pokok ‘tuduhan’ terhadap masyarakat adat. Padahal masih menurut catatan Walhi Sulawesi Tengah, 61,55 % wilayah Sulawesi Tengah dikuasai investor pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, sebagian besar diantaranya dulunya adalah hutan.
Deforestrasi? Bukan Mereka!: Menguatkan Kembali Keberadaan Masyarakat Adat
Orang Tompu, seperti halnya dengan suku-suku lain di pedalaman Sulteng memiliki mitologi yang hampir sama bahwa asal-usul mereka adalah dari tanah mereka. Mereka memandang bahwa dari sanalah semua manusia berasal termasuk padi yang menjadi jelmaan manusia. Orang tompu memandang asal-usul manusia dari tanah Tompu, orang Lindu memandang asal-usul manusia dari dasar danau Lindu. Karena itulah mengapa suku-suku di Sulawesi tengah memiliki tanah suci sendiri, sehingga tidak perlu berebut tanah suci seperti yerusalem yang selalu diperebutkan oleh tiga agama langit.
Pada akhirnya sebenarnya dan pada kenyataannya justeru mereka bisa menunjukkan bahwa melalui kearifan tradisional yang menurun dari pandangan kosmologis tersebut dan diwariskan turun temurun, alam, hutan, air, tanah,  tetap bisa lestari, terjaga. Seperti yang dipraktekkan oleh Orang Tompu dan mereka yang hidup dalam dan sekitar, misalnya Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)  Orang Katu, Orang Toro, Orang Marena, Orang Pekurehua, Orang Pakawa, juga misalnya Orang Wana di sekitar kawasan Cagar Alam Morowali. Kerusakan Hutan? Bukan mereka! [KBB]

12 komentar:

  1. postingan yang bagus om.
    sangat membuka hati dan pikiran
    Gbu

    protomalayans.blogspot.com

    BalasHapus
  2. terimakasih banyak atas info nya
    yang udah di share
    terus berkreasi gan

    BalasHapus
  3. artikel nya sangat basus
    dan menarik untuk dibaca
    terimakasih atas info ny

    BalasHapus
  4. bagus gan artikel nya
    lanjutkan
    terimakasih

    BalasHapus
  5. tulisan nya sangat bagus
    sangat menarik untuk disimak

    BalasHapus
  6. terimakasih atas informasinya
    ditunggu informasi selanjutnya

    BalasHapus
  7. ijin menyimak artikel nya gan
    terimakasih atas informasinya
    sukses terus

    BalasHapus
  8. saya suka sekali info yang ada di blog ini
    terimakasih gan

    BalasHapus
  9. terimakasih atas info yang diberikan, sangat bagus, dan tentunya bermanfaat

    BalasHapus
  10. Artikelnya sangat mudah difahami

    BalasHapus
  11. Terimakasih, artikernya sangat bermanfaat

    BalasHapus
  12. Terimakasih atas ilmunyaa

    BalasHapus


Get this widget!
Proudly Powered by Blogger.